top of page
Search

“Jangan durhaka. Bagaimanapun Mereka, Mereka Tetap Orang Tua Kamu.”

  • Writer: Amanda Margareth
    Amanda Margareth
  • Jul 24, 2020
  • 8 min read

ree

Ricardo Moura's Photography-unsplash.com


Petuah tersebut adalah sebuah hal yang tidak jarang dikatakan oleh banyak orang karena sebuah construct yang sudah dibangun. Yaitu kenyataan bahwa orang tua, adalah dua orang yang membesarkan kita—anak-anaknya—dengan segala pengorbanan. Mereka memberikan kita makan, tempat tinggal, pakaian, dan semua kebutuhan kita pada umumnya untuk bertahan hidup. Assuming bahwa memang semua orang tua menjalankan kewajibannya untuk membentuk keluarga yang baik dan berkecukupan.


Tetapi apa kata realita?


73,3% anak anak di Indonesia mengalami kekerasan di rumahnya sendiri. Headline berita yang setiap harinya membahas tentang seorang bapak melakukan pemerkosaan anak kandung, seorang ibu melakukan penjualan diri anak kandung, bahkan ada mereka yang mengaku menghasilkan anak hanya karena ingin menjual anak-anaknya untuk dimiliki oleh orang-orang yang tidak memiliki anak. Even to the smallest case, where parents are so neglectful towards the children’s dine, causing obesity taking their children’s life. Or the conservative Christian parents who decided to raise their dozens of children in a cult, where the children’s life is filled with nothing but a dogma of violence. Or even them, who gave up to overcome their emotions and finally decided to—literally—cage down their children?


Masihkah kita tidak punya hak untuk “durhaka” kepada orang tua?

Jika iya, sejauh mana takaran “durhaka” bisa dilakukan, terutama untuk kasus-kasus yang bukan salah kita sebagai seorang anak?


Jane English, seorang filsuf kontemporer asal Amerika, berargumen bahwa sekalinya kita sudah menjadi dewasa dan bisa menghidupi diri kita sendiri, kita tidak berutang budi kepada orang tua kita atas hal apapun.

“If the parent and child do not share a voluntary, loving relationship, then the child has no filial obligations. According to Friendship Theory founder Jane English, the entire language of the Debt Theory is problematic, as children do not, strictly speaking, owe their parents anything.” (Brynn F. Welch, UAB, U.S.A)

Ada 3 jenis hutang budi yang diterapkan pada kehidupan berkeluarga:

  1. The unconditional view: yaitu dimana dengan menjadi orang tua di dalam segala kondisi, anak mereka akan berhutang beberapa/semua hal kepada mereka. Hal paling minimum yang dapat diberikan adalah presensi (keberadaan) dan perhatian, sampai salah satu diantara kalian mati. (Juga disebut sebagai debt theory)

  2. The conditional view: anak berhutang budi sama dengan apa yang telah diberikan oleh orang tuanya. Jadi orang tua yang tidak membesarkan anaknya dengan baik, tidak akan mendapatkan apapun dari anak mereka yang sudah dewasa. Tetapi untuk orang tua yang membesarkan dengan baik, mereka akan menerima banyak hal baik juga.

  3. The friendship view: anak tidak berutang budi apapun ke orang tua, sebaik apapun dan/atau sekontributif apapun orang tua dalam proses penumbuhan anak.

Secara konvensional, kita akan selalu berusaha memercayai kondisi yang pertama, the unconditional view. Karena secara “kodrat” orang tua, mereka sudah memberikan kita segala hal yang kita butuhkan. Di lain sisi, English, menentang hal ini. Ia berargumen bahwa yang sebenarnya berhutang budi adalah orang tua kepada anak-anaknya, bukan anak-anak kepada orang tua.


Anggapan karena pandangan bahwa pilihan untuk memiliki anak, adalah pilihan dari orang tua itu sendiri. Secara tidak langsung, para orang tua menyetujui untuk memiliki tanggung jawab dalam membesarkan anaknya, atau dalam skenario lain, memberikannya kepada orang-orang yang mau.


Hubungan ini, dengan konsep dimana ada pilihan akan pengambilan sebuah tanggung jawab, disebut dengan Contractarian Relationship.


Inti dari sebuah contractarian relationship adalah konsep bahwa jika kamu menyetujui dan sudah memilih untuk melakukan sesuatu, maka kamu memiliki kewajiban untuk menyetujuinya atau—jika diinginkan—mengeluarkan dirimu dari kontrak yang sudah ada. Argumen English bahwa anak-anak tidak pernah punya KEWAJIBAN untuk memberikan kembali ke orang tua didasarkan pada konsep tersebut. Karena yang benar saja, tidak ada dari kita “minta” untuk dilahirkan. Dan untuk itu, kamu tidak bisa memiliki sebuah kewajiban (membayar hutang kepada orang tua) jika kamu tidak melakukan apapun untuk membentuk sebuah kewajiban tersebut—yang darimana kita sebut tadi, “memilih” sesuatu.


Bahkan, nyatanya, setelah kita terlahir dan berhasil hidup sampai usia dibawah dewasa, kita tetap tidak bisa dikatakan “menyetujui” kontrak yang sudah dibuat oleh orang tua. Dikarenakan rasionalitas kita yang kurang dan tentu saja, tidak ada anak-anak yang sadar bahwa mereka terikat dalam suatu ikatan yang bisa ditinggalkan—terutama juga karena pikiran konvensional yang terus mendewa-dewakan keberadaan orang tua yang ditanamkan kepada anak-anak.


Hanya jika kamu sudah dewasa, dan kamu memasuki sebuah tahap kesepakatan dengan orang tua, seperti kamu bisa tinggal di dalam rumah selama yang kamu mau sampai kamu menikah, atau kamu bisa memakan semua es krim yang ada di kulkas jika kamu masuk ke universitas terpilih, maka darisana kamu bisa membuat sebuah kontrak. Dilihat lagi, hal tersebut adalah kontrak baru. Kesimpulannya adalah dimana konsep “parenting” atau “menjadi orang tua” adalah sebuah hal yang dipilih dan diambil oleh orang tua tanpa intervensi anak-anak mereka. Oleh karena itu, kewajiban yang berlaku adalah kewajiban orang tua kepada anak-anaknya, bukan anak-anak kepada orang tua.


Lebih spesifik lagi, alasan kenapa kita tidak perlu merasa punya kewajiban untuk memberi kembali kepada orang tua adalah karena semasa kita hidup sampai sebelum kita menjadi dewasa, mereka memberikan kita makan, minum, dan semua hal tersebut, adalah karena hal itu adalah hal yang mereka sendiri—tanpa intervensi apapun—PILIH untuk lakukan. Dan karena orang tua yang baik akan selalu memberi dalam segala kondisi, tidak peduli seberapa banyak kamu menerima sebagai anak, kamu tidak akan pernah terikat “hutang”. Because yeah right, that’s not how good family work.


Argumen ini bukan menghimbau bahwa kita bebas seenaknya untuk berperilaku bagaimanapun kepada orang tua kita. Argumen ini lebih menekankan bahwa kita tidak harus melihat perilaku baik 24/7 adalah sebuah hal WAJIB yang harus dilakukan hanya untuk seorang anak. Bukan orang tua.


Pernah dengar istilah orang tua durhaka kepada anak-anaknya?


Tidak, kan?


That is how under-privileged our position as children, in the society. Oleh karena itu, argumen ini digunakan untuk menyamaratakan keadaan dan menjunjung tinggi sebuah model yang bernama “friendship relationship”—hal yang dikeluarkan oleh Jane English.


Dalam friendship relationship, kita tahu bahwa teman yang baik tidak membantu sama lain karena ada perjanjian atau apapun yang terikat diantara mereka, secara ikhlas kita saling membantu atas dasar cinta dan kasih sayang. Tetapi juga, di dalam sebuah pertemanan, kita bisa memilih siapa yang kita temani dan kita jauhi. Hal ini menurut English juga seharusnya berlaku saat kita sudah dewasa nanti dan bisa memilih orang tua. Karena kamu tidak berhutang budi apapun kepada orang tua sebagai anak, maka seperti pertemanan, setelah dewasa nanti kamu bisa menjauhi dirimu dari orang tua yang kamu anggap tidak baik dengan tidak memberikan mereka apapun—karena lagi, kamu sebagai anak tidak berhutang apapun kepada orang tua. Di lain kasus, jika kamu merasa orang tuamu sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, maka kamu bisa memberikan kembali apa yang sudah diberikan juga.

Pilihannya ada didirimu.


Ide ini cenderung dinilai kontroversial, karena pada akarnya, orang-orang menganggap bahwa darah akan selalu lebih kental daripada air. Dengan maksud bahwa orang-orang yang memiliki relasi secara genetic—dari hubungan darah—maka seharusnya memiliki kedekatan dan kewajiban untuk berbuat baik satu sama lain. Tapi hal ini ditentang oleh konsep filosofi, karena jika kita bayangkan seorang anak yang diadopsi oleh orang tua non-biologis, dan saat itu ia bertemu dengan kerabatnya yang kebetulan terikat secara hubungan darah dengannya, apakah ia harus berbuat baik dan mencintai mereka—the biological related strangers—lebih daripada orang tua angkatnya?


Tentu tidak. Oleh karena itu hubungan biologis/non-biologis (baca: orang tua angkat) bukanlah sebuah dasar kita menentukan apakah seorang anak harus berhutang budi atau tidak.


Jadi sejauh ini, kesimpulan yang kita dapat adalah: sebuah keluarga terbentuk dari cinta, dan hanya cinta—bukan hubungan darah. Oleh karena itu, untuk keluarga yang tergolong tidak memiliki cinta, keluarga tersebut tidak bisa mengimplementasikan tuntutan moral—siapa berhutang budi ke siapa—karena keluarga tersebut pada akarnya tidak memenuhi esensi utamanya.


Now let’s get a little bit practical.


Sebelum kita dipercayai untuk melakukan sesuatu yang bisa saja membahayakan, kita diharuskan untuk mendemonstrasikan hal itu bahwa kita bisa melakukannya tanpa menghasilkan bahaya. Yang biasa dilakukan masyarakat adalah mengeluarkan sertifikasi dalam bentuk surat, kartu, atau apapun itu yang cenderung berguna untuk membuktikan bahwa kita sudah mempunyai kompetensi untuk melakukan hal tersebut. Contohnya adalah Surat Ijin Mengemudi, Diving License, Surat Keterangan Menikah, dan bahkan semua koki yang pernah kalian temui di restaurant terkenal.


Hugh LaFollete dengan tulisannya berjudul Licensing Parents pada tahun 1980, berargumen bahwa ada sekelompok orang juga yang seharusnya diwajibkan memiliki surat keterangan mampu untuk melakukan suatu hal ini.


Parenting adalah sebuah hal yang tidak mudah dan cenderung membutuhkan banyak pembelajaran dan pengetahuan. Dan saat kita tidak peduli akan hal itu, kita bisa membahayakan banyak pihak, bahkan nyawa anak kita sendiri. Tapi nyatanya, kita sebagai masyarakat dan pemerintah, sekarang hanya menunggu sampai ada kabar buruk bahwa ada KDRT yang terjadi—atau hal lain yang sudah terlanjur terjadi—sampai akhirnya kita bisa mengintervensi. Tidakkah akan lebih baik jika kita melakukan takaran preventif terhadap hal ini?


Karena jika dilihat lagi, pemeriksaan terhadap orang tua yang ingin mengadopsi cenderung ketat. Kenapa untuk orang tua biologis, hal tersebut tidak berlaku?


LaFollete merasa sistem yang dibuat haruslah dimulai dari sebuah pelatihan pra-nikah yang komprehensif, sampai dilakukan tes, dan penilaian. Tes ini bisa dilakukan berkali-kali sampai (calon) orang tua sudah berhasil mendapatkan lisensi parentingnya dan akhirnya punya ijin untuk membuat anak.


Pertanyaan akhir dari argumen ini adalah: apakah mekanisme ini akan menunjang kompetensi sepasang orang tua dalam membesarkan anak-anaknya? Dan apakah semua orang memiliki hak untuk menjadi orang tua? Then again, ada hal lain yang harus dimengerti oleh kita setelah terus-terusan—sedikit—mendiskreditkan orang tua.


Dalam semua aspek filosofi, pertanyaan-pertanyaan yang muncul memiliki satu tujuan utama. Yaitu untuk memberikan kita nilai dalam hidup, dan menumbuhkan pemahaman akan hal-hal yang cenderung membuat kita terdiam hanya di dalam sebuah kotak.


Salah satu cara untuk membuat kita memiliki nilai dalam hidup, adalah dengan menghargai semua life-long relationships yang kita punya. Salah satunya adalah dengan orang tua kita sendiri. Bahkan untuk kebanyakan kasus, satu-satunya hal yang kita punya yang merupakan sesuatu yang kita sebut sebagai true love, hanya berlangsung di antara hubungan kita dengan orang tua. Yang membedakan orang tua dengan hubungan lainnya adalah kenyataan bahwa hubungan dengan mereka adalah hubungan permanen yang bahkan tidak kita pilih—berbeda dengan keberadaan seorang istri, suami, laki-laki, atau binatang peliharaan. Jadi, memang nilai sentimental hubungannya terbukti lebih besar.


Semua hal itu, menggambarkan philosophical ethics yang terfokus pada koneksi individual. Lebih lagi, perasaan kita terhadap cinta daripada sebuah “keadilan” atau “kesamaan” yang praktis. Di moralitas, hal ini disebut sebagai ethics of care. Dalam pandangan ini, titik beratnya ada di hubungan-hubungan spesial yang ada di dalam hidup kita. Dan yang benar saja, banyak dari antara kita yang tidak bisa menolak hubungan yang berdasar kepada “AKU TIDAK BISA HIDUP TANPA KAMU”, dan menghasilkan perasaan intim yang sangat besar. Sesuatu yang juga kebanyakan waktu berlaku kepada hubungan dengan orang tua. Oleh karena itu, hargailah semua waktu yang kalian punya sekarang dengan orang tua kalian. Karena level dari intimacy dan waktu yang diciptakan tidak akan pernah bisa sama dengan orang lain.


Masalah utama di dunia adalah kenyataan bahwa menjadi baik sangatlah mudah untuk dilakukan bagi orang-orang yang kita suka. Yang menjadi tantangan adalah untuk menjadi baik bagi orang-orang yang tidak kita suka, yang berbeda dengan kita, atau bahkan yang tidak kita kenal sama sekali. Mereka yang cenderung tidak cukup beruntung untuk bisa mendapatkan jaringan kepedulian dalam bentuk dukungan dari orang-orang terdekatnya. Atau mereka, yang dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai mereka, tetapi orang-orang tersebut tidak memiliki hal-hal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jika kita berdasar pada “Ethics of Care”, orang-orang tersebut akan dapat ditelantarkan.


Karena kita tidak memiliki hubungan spesial apapun dengan mereka, dan kita tidak berhutang apapun ke mereka.


Jadi, pandangan mana yang bisa memberikan kehidupan yang utuh untukmu?

Menjadi orang sebaik-baiknya untuk mereka yang sejahat-jahatnya, atau menjadi baik, hanya sewaktu-waktu jika mendapat kebaikan?



Referensi

  1. W. C. Lee, "Encyclopedia of Global Justice," Springer Link, 2011. [Online]. Available: https://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007%2F978-1-4020-9160-5_238. [Accessed 20 February 2020].

  2. J. R. ALBERT MOHLER, "Should Parents Be Licensed? An Ominous New Debate," 28 April 2005. [Online]. Available: https://albertmohler.com/2005/04/28/should-parents-be-licensed-an-ominous-new-debate-2/. [Accessed 2020 February 2020].

  3. S. Gerintya, "73,7 Persen Anak Indonesia Mengalami Kekerasan di Rumahnya Sendiri," tirto.id, 21 November 2017. [Online]. Available: https://tirto.id/737-persen-anak-indonesia-mengalami-kekerasan-di-rumahnya-sendiri-cAnG. [Accessed 20 February 2020]

  4. B. F. Welch, "Filial Obligation," Internet Encyclopedia of Philosophy, [Online]. Available: https://www.iep.utm.edu/fil-obli/#SH2a. [Accessed 20 February 2020].

  5. Crash Course Philosophy YouTube Channel: Family Obligation

 
 
 

Comments


  • Black Pinterest Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black Instagram Icon
bottom of page