top of page
Search

Kamu Adalah Akhir dari Diri Kamu Sendiri: Immanuel Kant

  • Writer: Amanda Margareth
    Amanda Margareth
  • Jul 31, 2020
  • 6 min read

ree

Immanuel Kant, a German philosopher and one of the central Enlightenment thinkers.


Segala hal yang kita lakukan dalam hidup akan selalu terkait dengan dilema, terutama dalam pembuatan keputusan moral. Banyak juga dari kita yang seumur hidup mengemban satu dan hanya satu nilai saja untuk membuat kehidupan bernilai, tetapi kurang menelusuri kemungkinan nilai-nilai lain yang ada.


Cara melihat kehidupan dari aspek filosofi sebenarnya ada sangat banyak, dan kebanyakan waktu tidak ada yang sepenuhnya salah atau benar. Atheist, theist, dualist, materialist, utilitarians, kantians, libertarians, determinist. Semuanya adalah persolaan pandang dan nilai yang kita anggap lebih penting untuk dimiliki.

Orang-orang yang mempratikkan filosofi adalah orang-orang yang suka bertanya Mengapa?; mereka adalah segelintir orang yang berani mencari tahu kebenaran, mendengarkan orang lain, menghargai segala jenis pendapat, dan siap menerima kebenaran yang lain jika buktinya tersedia.

Jadi, untuk pembahasan-pembahasan filosofi kehidupan selanjutnya, kita coba satukan tempat berpijak untuk menganggap bahwa semua ini ditelatarkan untuk keperluan penyebaran informasi dan pendidikan. Tidak ada hal yang ingin dikerdilkan—kecuali jika kamu adalah seseorang yang diskriminatif dan passion selama hidupnya adalah menghakimi orang lain untuk pilihan mereka. Shame on you, airhead.



Hari ini kita akan membicarakan Kantian Ethics. In A LOT of moral terms.


Immanuel Kant adalah seorang filsuf dari Jerman yang hidup pada abad ke-18. Beliau adalah seorang ateis yang beranggapan bahwa agama dan moral tidak akan pernah bisa disatukan karena aturan moral yang ada di dalam masyarakat tidaklah datang dari hal-hal supernatural, melainkan dari tindakan-tindakan moral yang kita putuskan sendiri, dari diri kita, dan bukan dari—dalam kasus ini—Tuhan. Which invites debates from philosophers who are theists. Salah satunya adalah Thomas Aquinas yang berkata bahwa moralitas datang dari kita hanya karena kita diciptakan oleh Tuhan yang menganugerahi kita dengan sensibilitas moral.


Kant menganggap bahwa satu-satunya cara kita bisa mengetahui apa yang “benar”adalah dengan mengetahui “reason” dan konsiderari untuk orang lain. Menurutnya, jika kita hanya berpegangan pada agama untuk mencari jawaban dari moralitas, maka kita semua tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang sama—jawaban yang sama ini penting karena jika standar moral orang berbeda-beda, maka tujuan untuk menjadi “benar” tidak akan tercapai, orang-orang hanya akan melakukan moralitas menurut definisi mereka sendiri, bahkan mungkin ada beberapa yang menganggap berbohong dan mencuri itu baik-baik saja—oleh karena itu moralitas (menurut Kant) adalah sebuah “rumus matematika” yang konstan dan tidak ada formula lain.


Ada beberapa teori mengenai keputusan moral yang Kant latarkan:


A. Hypothetical Imperatives

Disini, akan muncul perintah-perintah yang membuat kita memutuskan untuk mengikuti sesuatu agar mendapatkan apa yang kita mau. Kant menganggap bahwa kebanyakan waktu, saat kita merasa “harus” melakukan sesuatu, maka hal itu bukannya sebuah keputusan moral. Melainkan kumpulan atau kesatuan dari keinginan-keinginan kita. Seperti saat kita ingin memiliki uang, kita “harus” mempunyai pekerjaan. Saat kita ingin pintar, maka kita “harus” belajar. Sebuah keharusan tersebutlah yang dianggap Kant sebagai hypothetical imperatives. Ia berkata bahwa hal-hal yang kalian lakukan karena apa yang kalian inginkan adalah sebuah “prudensi” atau kebijaksanaan yang kalian ambil, daripada sebuah aksi moral. Jadi sebuah “keinginan” pribadi bukanlah alasan yang tepat untuk berbuat baik karena tidak menguntungkan orang lain selain dirimu sendiri.


B. Categorical Imperatives

Categorical Imperatives (CI) adalah perintah (secara tidak langsung) yang wajib hukumnya kita ikuti, tanpa memerhatikan apa yang kita inginkan atau butuhkan. CI adalah obligasi moral kita yang didasari pada alasan-alasan yang jelas.

“It doesn’t matter whether you want to be moral or not—the moral law is binding on all of us.”

Saat inilah Kant berargumen bahwa kita tidak membutuhkan agama untuk mengetahui hukum tersebut karena apa yang benar dan salah sangatlah dapat diketahui hanya dengan menggunakan intelektualitas kita sendiri. Which to an extent something I majorly agreed upon—considering how many books and sources I’ve read on moral and virtue theory, I guess logical thinking plays the role in determining what to do in our cycle of life, rather than having a biblical saying stamped in front of our eyes. Jadi CI berperan besar dalam berfikir mengenai alasan melakukan sesuatu karena hal itu “benar” untuk dilakukan dan tidak terfokus pada result dari sebuah tindakan.


Contohnya kita bisa menolong seorang nenek menyebrang jalan. Tetapi untuk memenuhi nilai moral yang benar, maka kita harus melakukan hal itu untuk bisa menolong nenek tersebut ke sebrang jalan dengan selamat dan bukan untuk membuatmu merasa menjadi orang baik.


Kant juga memberikan 3 formula dalam CI yang memberikan bentuk pandangan yang berbeda-beda, tergantung dengan alasan/ide yang kita pilih.


Yaitu the universalizability principle, the formula of humanity, dan formula of autonomy. Tapi daripada botak membahas semuanya, lebih baik kita bahas yang menadi prioritas yang sangat populer dibicarakan oleh khalayak. Yaitu the universalizability principle dan the formula of humanity.


A. Universalizability Principle (UP)

“Act only according to that maxim which you can at the same time will that it should become a universal law without any contradiction.”

Maxim dalam hal ini adalah principal of action, atau prinsip dari terjadinya sebuah tindakan atau aturan umum dari sebuah aksi yang akan diambil. Sedangkan universal law adalah hukum yang berlaku dimana saja, untuk semua orang.


Simply put, contoh cara berfikirnya seperti ini:


Jika kamu mencuri, maka kamu menyetujui maxim dari aksi mencuri, dan apa yang kamu lakukan adalah membuat hal tersebut hukum yang berlaku untuk semua orang. Semua orang HARUS mencuri—karena sebuah hukum tidaklah untuk ditentang dan harus dilakukan. Jadi cara berfikirnya adalah jika kita boleh melakukannya, maka semua orang boleh melakukannya.


Kelamahan argumen Kant disini adalah kenyataan bahwa jika kita membawanya benar-benar ke dalam dunia nyata, hukum universal atas maxim yang kita pilih tidak akan bisa berkata untuk dirinya sendiri bahwa mencuri itu hal yang baik-baik saja untuk dilakukan dan menjadikan semua orang pencuri. Jikapun iya memang semua orang akan menjadi pencuri, maka loop yang terjadi tidak akan pernah berhenti. Aku mencuri apelmu, kamu mencuri kembali apelnya, aku kembali melakukannya, sampai akhirnya tidak ada yang bisa benar-benar memiliki apel itu. Artinya “mencuri” tidak bisa dibuat universal—hal ini berlaku juga untuk perilaku tidak bermoral lainnya.


Walau sebenarnya yang ingin dikatakan oleh Kant adalah sangat tidak adil jika kamu mengecualikan dirimu dibanding orang lain untuk perilaku yang kamu lakukan. Cara berfikir yang kamu harus lakukan seharusnya adalah: saat kamu sadar mencuri itu salah, maka kamu harus mengimajinasikan hal itu menjadi universal dan dilakukan juga oleh semua orang, maka kamu akan memutuskan untuk tidak melakukannya. So categorical imperatives, in this case, really talks on the universality of our actions.


B. The Formula of Humanity (FH)

“Act so that you treat humanity, whether in your own person or in that of another, always as an end, and never as a mere means.”

Mas Nuel memang suka bermain kata-kata ya. Jadi muter otak kadang kalau membaca.


Mere means artinya adalah menggunakan sesuatu untuk kepentingan kita sendiri dan bukan kepentingan dari apa yang kita gunakan. Pada umumnya kita memang melakukan hal untuk mere means, contohnya saat kita menggunakan mangkuk untuk makan atau pensil untuk menulis. Kita tidak sepenuhnya memberikan keuntungan kepada benda-benda tersebut, dan saat hal itu berhenti berguna, kita tidak akan menggunakannya lagi.


Tentu tidak salah untuk menggunakan hal tersebut untuk mere means, tetapi tentunya tidak untuk manusia. Manusia disebut sebagai “ends-in-ourselves” oleh Kant. Kita bukanlah benda mati yang ada untuk digunakan oleh orang lain.

Kita adalah akhir dari diri kita sendiri.

Manusia adalah mahluk rasional dan bisa memutuskan segala macam hal yang ingin kita lakukan secara pribadi. Mangkok ada untuk mereka yang ingin makan. Manusia ada untuk diri mereka sendiri, untuk fungsi yang ditentukan oleh diri mereka sendiri.


Kant menganggap bahwa kita semua harus memperlakukan manusia sebagai “end-in-herself” yaitu sebagai seseorang yang memiliki nilai dan tujuan pribadi, dan kita sebagai lawannya harus selalu mengingat, menghormati, dan menghargai hal tersebut setiap saat kita berhadapan dengannya.


Karena tidak seperti hal lain di dunia, manusia adalah mahluk yang self-governed. Kita bisa membuat keputusan berdasarkan kemauan kita yang rasional. Namun, with great power comes great responsibilities. Disini kita diposisikan dengan sebuah absolute moral worth, yang berarti seharusnya dengan kekuatan kita tersebut, kita tidak dimanipulasi dan memanipulasi agen autonomous lainnya untuk keuntungan kita sendiri. Yang berarti penipuan berupa kebohongan tidak pernah—dalam segala kondisi—bisa menjadi benar. Karena jika kita ditipu, kita tidak bisa membuat keputusan-keputusan yang rasional yang tidak berdasar pada informasi yang salah.


Contoh kecilnya adalah saat kalian meminta uang kepada orang tua untuk membayar SPP sekolah namun ternyata kalian menggunakannya untuk bermain online games di warnet.

Hal itu salah secara moral karena: A) Kamu sudah merampas etika orang tuamu sebagai self-governed being yang memutuskan untuk membantumu. B) Kamu berbohong, dan berbohong tidaklah pernah benar menurut teori moral Kant.


Kamu telah memperlakukan orang tuamu untuk keuntunganmu sendiri, tanpa berfikir mengenai tujuan orang tuamu membantumu, dan itu adalah sebuah pelanggaran terhadap teori Kant yang kedua, yaitu Categorical Imperatives.


Kesimpulannya, Kant percaya bahwa categorical imperatives adalah nilai kehidupan yang bisa menghantarkan kita sepenuhnya ke hidup yang baik dan benar secara moral, tanpa membutuhkan Tuhan. Kant juga tidak membahas mengenai konsekuensi dari semua aksi yang kita putuskan untuk lakukan. Lebih terhadap alasan kenapa kita melakukannya. Terdengarnya kehidupan yang terlalu sempurna, tapi Kant berhasil membuat banyak orang setuju dengannya mengenai segregasi nilai tersebut.

Do unto others, as you would have them do unto you.

Akhir dari tulisan ini, ada sebuah kasus yang aku ingin kalian coba jawab dari perspektif Kantian Ethics.


Kamu sedang makan malam bersama pasanganmu di dalam sebuah rumah, lalu ada orang yang mengetuk pintu. Kamu membuka pintu dan melihat seseorang dengan pistol datang mencari pasanganmu. Apa yang akan kamu katakan kepadanya? Apakah kamu akan berbohong atau mengatakan yang sebenarnya?


Referensi:

  1. Rohlf, Michael (2020), Zalta, Edward N. (ed.), "Immanuel Kant", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2020 ed.), Metaphysics Research Lab, Stanford University, retrieved 27 May 2020

  2. "Kant and the German Enlightenment" in "History of Ethics". Encyclopedia of Philosophy, Vol. 3, pp. 95–96. MacMillan, 1973.

  3. The School of Life: Immanuel Kant (YouTube)

  4. Crash Course Philosophy: Kantian Ethics & Categorical Imperatives

 
 
 

Comments


  • Black Pinterest Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black Instagram Icon
bottom of page