top of page
Search

Lebih Jahat Mana: Malaikat Pencabut Nyawa atau Rasisme?

  • Writer: Amanda Margareth
    Amanda Margareth
  • Jul 24, 2020
  • 6 min read

ree

Top photo: Jahi Chikwendiu - The Washington Post



Rasisme adalah kekuatan semua pembunuh tidak memiliki hati karena kamu tidak perlu secara langsung menyentuh mereka untuk menghilangkan nyawanya (baca: minoritas). Cukup dengan mengikuti sistem yang ada di masyarakat, berjalan bersamanya, tidak bersuara, atau bahkan memilih sisi yang netral.


Rasisme adalah hal kompleks karena tidak memiliki parameter pasti atau berupa sesuatu yang bisa ditakar. Beberapa orang tidak sadar bahwa hanya dengan memercayai sesuatu yang mengekspresikan rasisme, kamu sudah bisa terbilang "rasis". Hal tersebut tidaklah harus berlanjut sampai terimplementasikan menjadi sebuah aksi yang rasis untuk kamu dianggap sebagai racist slur. Maka dari itu kawan-kawan, kita coba pahami rasisme lebih jauh, yuk! Siapa tahu kalian bisa mengerti dan mencabut akarnya dari yang terdalam dan menolong orang lain.


3 hal yang selalu berputar dalam satu siklus adalah racism, discrimination, dan prejudice (rasisme, diskriminasi, dan prasangka).


Prangsaka (prejudice), adalah langkah generalisasi yang tidak adil sebuah kelompok karena perilaku seseorang. Biasa disebut juga sebagai stereotipe. Hal ini biasanya mengambil tempat dengan sedikit atau tidak ada bukti sama sekali. Ingat bagaimana kamu terus-terusan bilang "semua cowok sama aja!" karena kamu ditinggalkan? Iya itu termasuk salah satu akar dari diskriminasi juga. Nama kerennya adalah prejudice. Prejudice cenderung dianggap sebagai negative stereotypes karena kebanyakan waktu kita memberikannya hanya kepada orang-orang yang berbeda dari kita (baca: minoritas). Contohnya, jika kita berkata mengenai daerah yang paling butuh bantuan pemerintah sekarang, kebanyakan dari kalian akan selalu menjawab daerah timur seperti NTT dan Papua. Yang padahal daerah di sana sudah terbangun lebih modern daripada kebanyakan daerah lain di utara. Di luar, orang-orang berkulit hitam dianggap sebagai orang-orang yang paling menyusahkan karena maereka adalah yang paling membutuhkan bantuan pemerintah. Padahal jika kita lihat lagi, orang-orang berkulit putih juga menggunakan lebih banyak servis dari pemerintah itu sendiri. Tetapi kenapa stereotipe itu harus jatuh kepada orang berkulit hitam?


Istilah keren lainnya untuk hal itu adalah racial prejudice. Prasangka yang berbasis ras ini cenderung memberikan ide bahwa satu ras bergerak secara superior dibanding dengan ras yang lain. Prasangka ini terbagi menjadi prasangka bias yang eksplisit (yang sepenuhnya kita sadari bahwa adalah aksi yang rasis), dan yang implisit (tidak kita sadari bahwa kita telah melakukan aksi yang rasis).


Pada tahun 2007, seorang psikolog sosial, Joshua Correll, mencoba melakukan sebuah studi bagaimana sebuah bias yang implisit bisa terjadi untuk menilai orang-orang yang memegang sebuah senjata. Semua orang yang berpartisipasi dalam studi tersebut diminta untuk bermain sebuah video game dimana mereka harus menembak hanya orang-orang yang bersenjata, dan menghindari orang-orang yang tidak bersenjata. Partisipan dalam studi tersebut menunjukkan bahwa mereka lebih banyak salah menembak orang-orang kulit hitam yang tidak bersenjata, daripada kulit putih yang tidak bersenjata. Disana bisa disimpulkan bahwa implicit bias bukanlah mengenai apa yang kamu bilang kamu percaya, karena hal-hal tersebut tidaklah terjadi secara sadar. Salah satu dari partisipan tersebut mungkin ada yang tidak percaya mengenai stereotipe orang kulit hitam bersenjata, tetapi hal itu tidaklah eksklusif karena bias yang terjadi memanglah sebuah hal yang tidak seharusnya kita sadari—seberbahaya ini rasisme yang sudah mendarah daging karena tidak mudah untuk mengenalinya.


Jadi kita sudah paham bahwa prejudice adalah masalah kepercayaan dan bagaimana pandangan kita terhadap sesuatu.


Diskriminasi adalah langkah lanjutannya. Yaitu sebuah perlakuan tidak adil di antara grup masyarakat yang berbeda. Contoh kecil diskriminasi adalah dengan mengejek orang karena warna kulitnya, atau menolak bekerja bersama tipe orang tertentu. Tapi coba kita lihat bentuk diskriminasi yang lebih besar lagi.


Prasangka dan diskriminasi institusional: yaitu sebuah bias yang kita letakkan pada institusi yang ada seperti sekolah, sistem buruh, dan bank. Dalam kata lain, hal ini adalah prasangka dan diskriminasi yang terjadi pada komunitas tertentu. Carmichael dan Hamilton mencoba membandingkan respon masyarakat terhadap 2 kasus:

  1. Teroris berkulit putih yang melakukan bom pada gereja orang kulit hitam.

  2. Ribuan anak kecil berkulit hitam yang menderita untuk alasan yang berbeda-beda. Seperti kekurangan sekolah, makanan, rumah yang berkualitas, dan lain-lain.

Kasus 1, lebih gampang terlihat sebagai sebuah aksi yang rasis karena ada 2 hal jelas yang terlihat dikasus tersebut: a) Tindakan rasisme yang berlebihan, dan b) Motivasi yang didapat dari kebencian ras. Sedangkan untuk kasus 2, jika kamu memilih untuk tidak memerhatikan hal tersebut, maka cenderung tidak akan ada yang sadar bahwa hal tersebut adalah aksi yang rasis karena: a) Kita tidak tidak tahu siapa yang salah, namun b) Masih menyebabkan diskriminasi menurut ras. Karena hal itulah kasus b akan cenderung tertinggal dan tidak terurus dan terus menerus memupuk rasisme yang tidak kasat mata.


Jadi sekarang kita sudah bisa lihat akarnya. Urutan dari aksi diskriminasi adalah sebagai berikut:

  1. Langkah pertama adalah penanaman prejudice dan discrimination. Dari sini kita akan melakukan stereotipe, dimana cenderung bahkan berbentuk strategi untuk menciptakan kekuatan dalam sistem ekonomi atau sosial bagi grup tertentu. Prasangka-prasangka yang ada akan memotivasi diskriminasi untuk minoritas, secara individual maupun secara institusi, sampai akhirnya mendorong grup minoritas untuk sampai ke rantai paling bawah dari lapisan-lapisan masyarakat.

  2. Produk dari hal tersebut adalah sebuah kerugian sosial yang dialami oleh grup minoritas. Orang-orang tersebut akan dilihat sebagai mereka yang selalu inferior dibanding dengan grup mayoritas. Dan bahkan menjadi sebuah aktivitas normal yang memberikan justifikasi kepada prasangka dan diskriminasi yang terjadi.

  3. Terakhir adalah kepercayaan mengenai sifat inferior dari minoritas yang mendarah daging sampai akhirnya kembali ke langkah 1 dan berulang secara terus-menerus, membentuk rantai yang tidak ada habisnya.

  4. Tapi kenapa orang-orang tetap memunculkan rasisme disemua aksi yang mereka lakukan?

Beberapa teori yang bisa menjawab pertanyaan ini adalah scapegoat theory (frustration-aggresion theory) yaitu sebuah teori dimana orang-orang harus bersikap rasis dalam menyalahkan grup lain (minoritas) karena mereka butuh pertahanan diri atas masalah yang mereka hadapi. Kompleksitas sosial ekonomi cenderung juga berperan dalam orang-orang yang "scapegoating" dalam kehidupannya sehari-hari. Contohnya adalah saat kamu tidak mendapatkan pekerjaan, kamu akan menyalahkan para black refugee yang mengambil pekerjaan terlalu banyak daripada melihat garis besar dalam globalisasi dan otomasi telah merubah sistem sosial secara struktural.


1950, terdapat sebuah teori lain oleh Theodore Ornell yang mengemukakan bahwa racism adalah sebuah aksi dimana seseorang memiliki authoritarian profile (profil otoriter) yang berarti orang tersebut adalah pemimpin keras yang selalu mempertahankan konservatisme dan status quo. Contohnya seperti trump (ini…masih bisa dibicarakan lebih lanjut) dan kim jong un sendiri. Dengan profil tersebut, mereka akan melakukan perlawanan untuk mempertahankan posisi superior mereka melawan ancaman secara morak atau fisik terhadap posisi mereka. Dan lahirlah racial prejudice. Akar diskriminasi yang sebenarnya.


2 teori pertama ini mengemukakan bahwa racial prejudice adalah produk dari sebuah karakter/profil seseorang yang tidak baik, dan kondisi tidak rasional dari sebuah komunitas dari individu.


Tetapi, ada teori-teori lain yang sedikit berbeda.


Teori budaya atau culture theory mengemukakan bahwa prasangka dapat ditemukan disemua orang karena kita memang adalah produk dari budaya yang kita tinggali—and we live in a prejudiced culture. Secara tidak sadar kita memang sudah tinggal dibudaya yang dipenuhi dengan prasangka rasis atau bahkan diskriminasi lainnya yang tidak melibatkan ras. Seperti contohnya bagaimana kita menanggapi orang yang "mualaf" dibanding orang yang convert ke agama lain dari agama mayoritas. Buku paket anak-anak sekolah di amerika, cenderung ditulis dari perspektif euro-caucasian dibanding ras lainnya dan memberikan fokus pada kontribusi orang kulit putih daripada orang kulit hitam.


Terdapat social distance and race-conflict theory yang keduanya membahas bagaimana prejudice adalah sebuah alat yang digunakan untuk menopang kekuatan dari mayoritas. Contohnya adalah sebuah argumen dimana orang kulit putih merupakan ras yang lebib superior, digunakan untuk menjustifikasi perbudakan dan aksi rasis lainnya yang terjadi setelah perbudakan selesai.


Untungnya, di dalam sosiologi, kalian tidak terbatas dalam budaya-budaya yang disebutkan di atas. Ada 4 cara interaksi yang mungkin sudah sering kalian dengar:

  1. Pluralisme: Sebuah kedudukan dimana semua ras dan etnis berbeda, tetapi memiliki kedudukan sosial yang sama.

  2. Asimilasi: Proses minoritas yang mengadaptasi budaya yang digunakan oleh mayoritas.

  3. Segregasi: Pemisahan (secara grup) yg dibedakan melalui fisik dan sosial untuk beberapa kategori komunitas. Hal ini adalah hal yang paling sering terjadi di us sendiri. Banyak kategori masyarakat yang didempak untuk mendapatkan servis paling bawah dari rumah, sekolah, bahkan penyediaan public services seperti rumah singgah. Sampai akhirnya semua orang yang "kategori"nya sama akan berkumpul disatu tempat dan memicu lebih banyak lagi racial stratification.

  4. Genocide: Pembunuhan sistematis dari satu grup ke grup yang lainnya. Ini adalah produk terburuk dari sebuah racial stratification yang tidak bisa kita sangkal, sudah sangat sering terjadi di masyarakat. Contohnya adalah Holocaust yang terjadi sebagai bagian dari Perang Dunia II.

Dan akhir-akhir ini, kita melihat lagi akar dari pembunuhan massal yang terjadi, kawan-kawan, George Floyd dan Ahmaud Arbery adalah dua orang yang sudah meninggal karena aksi rasisme kepolisian di Amerika Serikat. Kita, Indonesia, saudara-sudara kita di Papua sana yang merasa masih dikucilkan dan bahkan selalu disinggung dengan semua micro aggression yang kita lakukan secara fisik maupun verbal. Mereka bisa kehilangan kehidupan dan bahkan nyawa dari aksi-aksi rasis yang kita lakukan. Pintar-pintarlah mengambil tindakan, bijaksana dalam berbicara.


Percayalah, Dajjal tidak punya pilihan kalau menjemput nyawa seseorang karena memang sudah waktunya. Sedangkan kalian punya pilihan untuk bisa menjadi benar dan tidak rasis, kenapa pilih sebaliknya?


 
 
 

Comments


  • Black Pinterest Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black Instagram Icon
bottom of page