top of page
Search

"You May Delay, But The Time Will Not" | Manajemen Waktu Pt. 1

  • Writer: Amanda Margareth
    Amanda Margareth
  • Oct 31, 2020
  • 7 min read
"Permasalahan muncul saat kita, manusia, selalu berfikir kita memiliki waktu."
ree

Latar Belakang

Frekuensi pertanyaan mengenai manajemen waktu seputar webinar-webinar yang aku hadiri, serta yang aku dapatkan langsung melalui sosial media, ternyata mulai sedikit tidak sehat. Serius. Rasanya jika aku ditanya dipintu gerbang surga nanti mengenai pertanyaan yang paling sering aku dapat semasa hidup, aku akan menjawab “Kak, gimana sih cara ngatur waktu diantara kepadatan aktivitas?”

Namun secara umum pertanyaan-pertanyaan tersebut memiliki penyelasaian yang sama. Yaitu cara kita bisa membagi waktu dan bertahan hidup dengan produktifitas. Jadi, selamat! Kepada kalian yang sudah menunggu-nunggu penjelasan dariku—yang tidak aku pahami juga alasannya—karena hari ini kita akan bahas sedalam-dalamnya mengenai rutinitas manajemen waktu yang selalu aku lakukan.


Singkat cerita dan sedikit latar belakang, aku adalah seorang INTP dengan kemampuan untuk mengorganisir yang terbentuk sejak dini. Aku selalu menyukai kesibukan—bahkan, jatuh cinta—dan merasa bahwa aku selalu memiliki sesuatu yang berkualitas untuk dilakukan. Bahkan dari sekolah dasar sampai ke sekolah menengah ke atas, saat seharusnya aku bisa lebih bersenang-senang dan bermain, aku akan selalu memilih untuk melakukan hal lain yang menurutku lebih berkualitas. Bukan berarti aku benar-benar tidak pernah bersenang-senang, loh ya. Bersenang-senang juga merupakan aktivitas yang baik jika kualitasnya terjaga dan arahnya benar. Jadi aku masih memasukkan aktivitas seperti itu sesekali dalam jadwalku. Hal-hal “berkualitas” yang tidak lupa aku sisipkan dalam jadwal adalah menjadi ketua kelas, ketua OSIS, juara 1 umum, siswa berprestasi, mengikuti kompetisi-kompetisi akademis dan non-akademis, olimpiade langsung dan online. Dan mimpi-mimpi terburuk lainnya bagi mereka yang tidak menyukai sekolah.


Aku terdidik untuk menjadi punctual—bukan hanya tepat waktu, tapi early!—karena didikan orang tua dan karakter kompetitifku yang memang tidak terbendung. Aku selalu memastikan semua tugas selesai lebih awal dan aku bisa memasukkan lebih banyak lagi aktivitas berkualitas lainnya untuk mengambil waktu-waktu kosong. Aku rela tidak tidur untuk menyelesaikan tugas yang 2 minggu lagi baru akan dikumpul, hanya karena kadang aku menyerah kepada kegelisahan yang menyelimuti bayangan-bayangan tanggung jawabku setiap ingin tidur.


Aku bahkan tidak membuat-buat. Aku selalu tiba di sekolah jam 06.30 saat kelas masih kosong dan tidak ada orang karena beberapa hal: a) Aku benci masuk ruangan dan disambut dengan pandangan orang-orang; b) Hari baru mulai jam 4 pagi di kamusku, jadi semakin terlambat aku memasuki kelas, semakin banyak waktu yang terbuang. Aku tidak mau ini terjadi; c) Rumahku terletak 20 km dari sekolah. Aku tidak bisa mengambil resiko terlambat atau terburu-buru masuk kelas.


Some added details, aku punya suatu kondisi yang aku sebut sebagai time anxiety.


Karena aku sangat punctual, aku tidak bisa dihadapi dengan pilihan terlambat, atas alasan apapun. Jika aku sedang menunggu dijemput orang dan ia terlambat, aku akan mulai menghitung detik sesaat setelah aku tahu ia terlambat. Aku berhitung sampai tremor dan harus menunggu di kamar mandi dengan tetap berhitung karena aku begitu khawatir dengan waktu-waktu yang terbuang. Biasanya akan berakhir dengan tangisan, atau tantrum yang tidak terkontrol. Di bandara, stasiun, dan tempat-tempat lainnya. Aku akan selalu memilih untuk menunggu di tempat tersebut bahkan selama 3 jam daripada membayangkan resiko terburu-buru dan menghitung detik tanpa henti. Apalagi jika aku harus melibatkan orang lain dalam kejadian-kejadian itu. Menunggu orang lain yang tidak memiliki disiplin yang sama adalah sebuah penyiksaan. Aku sangat menghargai waktu. Terlalu, sampai kadang mengorbankan banyak hal.

Which is, obviously, unhealthy.

Tapi tentunya, seiring waktu dan pendewasaan, aku belajar untuk menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain mengenai waktu. Because ffs, it cost me so much of my peace to ever be that intolerant about time. So that’s that, sebuah latar belakang, naik-turun yang aku lewati untuk bisa memiliki kemampuan manajemen waktu seperti sekarang. Disamping membaca banyak buku self-help yang berorientasi pada kebiasaan-kebiasaan efektif, aku juga melaksanakan tantangannya yang jauh lebih sulit. Yaitu mengimplementasikannya sebagai sebuah rutinitas.

Manajemen Waktu

Time management starterpack:

  • Agenda (Conventional/Digital): e.g. Microsoft To Do, BRIGHT TO-DO, Google Task, etc.

  • Reminder: e.g. Google Calendar or Google Home, Samsung Reminder, etc.

  • The right motivation (Do not give up on capitalism!).

  • Cute stationaries.

  • Pinterest (A place where you can find inspo for journaling).

  • Bullet journaling friend.

Time management memiliki banyak sekali bentuk metode yang bisa kalian lakukan. Aku juga harus melewati beberapa trial and error dari metode-metode yang sudah aku lakukan. Beberapa orang mungkin lebih menyukai untuk menggunakan agenda tulis, yang lain mungkin lebih suka mempergunakan teknologi secara langsung. Hal tersebut harus bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi kenyamanan kalian masing-masing. Aku lebih suka untuk menggabungkan keduanya dan mengajak teman untuk menulis jurnal/agenda bersamaan dengan kreatifitas-kreatifitas yang kita miliki. Manajemen waktu bisa menjadi menyenangkan jika kita memilih untuk membuatnya menyenangkan.


Oke, beberapa hal yang harus selalu masuk dalam rutinitasku berbentuk kegiatan-kegiatan berikut:

  1. Leisure: Yaitu menciptakan sebuah output dari apa yang benar-benar aku suka untuk lakukan. Hal itu termasuk melukis, menulis, menonton Netflix dan menulis sebuah review, menonton video TED, mendengarkan podcast. Hal ini tidak wajib, tetapi aku selalu mengingatkan diriku sendiri untuk tidak lupa menyelipkan hal-hal ini sehari-hari. Saat mandi, aku akan memutar video-video TED dan tidak hanya mendengarkan, tetapi benar-benar mencoba paham dan bertanya serta mencari tahu mengenai apa yang belum jelas. Saat waktu senggang dan ada sela beberapa jam sebelum aktivitas selanjutnya, aku akan mencoba menulis. Hal-hal itu tetap memberikan aku esensi “Istirahat” dengan kualitas yang jauh lebih baik daripada hanya rebah-rebahan. Think about it.

  2. Vacation: Namun, kita juga bukan robot. Oleh karena itu vacation disini dapat diimplikasikan sebagai full time-out seperti a long relaxing steamy bath, a day at a spa, atau pergi dengan teman-teman. Pergi olahraga juga salah satu bentuk liburan untukku, dan biasanya aku menjadikan ini sebuah kewajiban setiap hari untuk menanggulangi dopamine deficiency. Fokus dari kegiatan-kegiatan di kategori ini adalah menghindari burnt out dan tetap memenuhi kebutuhan kesehatan mentalku.

  3. Compulsory: Pekerjaan yang wajib tapi tidak melibatkan bentuk reward yang nyata. Seperti tugas-tugas kuliah, makan, mandi—yang hanya sekedar mandi—2 kali sehari.

  4. Profit/Reward: Sebagian besar proyek-proyek yang aku terus kerjakan dalam waktu panjang (career-wise). Proyek terencana seperti kewirausahaan dan freelancing, yang biasanya memang menghasilkan pendapatan atau bentuk reward lainnya yang lebih nyata.

Setelah memastikan aku sudah punya 4 aktivitas tersebut terpapar di dalam pikiran, aku menggunakan semua hal yang sudah aku sebutkan diatas untuk mengatur waktu. Agenda digital dan konvensional—karena yang benar saja, aku adalah pelupa paling ulung. Aku harus menulis semua hal agar tidak lupa, dan terus-terusan melihatnya agar tetap ingat—yang sistemnya terbagi menjadi beberapa periode:

  • Yearly Plan

Setiap awal tahun baru, aku akan menulis yang disebut “General Objectives” atau objektif umum yang merupakan tujuan-tujuan besar di dalam tahun tersebut yang ingin aku capai. Hal ini mempermudah fokus yang ingin aku bangun selama 1 tahun penuh dan headlines-headlines yang ingin aku tulis setiap bulan-bulannya. Biasanya akan aku tulis, dengan warna-warni dan kreatifitas berlebihan di dalam agenda konvensional agar selalu bisa aku lihat kembali dan sedikit tertarik. Biasanya orang-orang menyebutnya sebagai resolusi, walau terkadang bentuknya bukanlah lain daripada lanjutan rutinitas dari tahun sebelumnya. Tidak ada aturan pasti dalam hal ini, aku dapat menulisnya dalam paragraf secara deskriptif, atau sebagai mind-map awal tahun yang aku print dengan ukuran A0+ untuk ditempel di kamar. Either is fine.

ree

Salah satu contoh Yearly Plan yang aku sertai dengan kata-kata motivasi. Ditulis saat awal tahun 2020 dengan semua keambisiusan dan optimisme yang tidak terealisasi. LOL.

  • Monthly Plan

Setelah menentukan tujuan-tujuan di awal tahun, setiap memasuki bulan baru (biasanya berlangsung setiap tanggal 1) aku akan kembali membuat daftar untuk hal-hal yang akan aku lakukan dalam bulan tersebut. Hal ini akan dilaksanakan lebih spesifik dan terarah. Contohnya aku akan memasukkan hari Jumat sebagai hari pembuatan podcast/video. Hari Kamis akan dimasukkan sebagai rapat mingguan organisasi. Minggu pertama akan terlaksana Ujian Tengah Semester. Minggu kedua akan terlaksana Evaluasi Organisasi. Dan hal-hal lainnya yang bisa aku buat sebagai daftar harian. Semua craft ini akan aku letakkan di dalam reminder yang ada (aku menggunakan Google Calendar & Samsung Reminder) untuk mengingatkanku setiap harinya. Di dalam sini aku juga akan langsung menentukan urgensitas dari masing-masing aktivitas dengan warnanya masing-masing. Skala prioritas membantuku menentukan pekerjaan mana yang harus selesai terlebih dahulu dan mana yang masih memiliki waktu untuk ditoleransi.


Salah satu contoh rencana bulanan yang aku buat setiap bulan. Belakangan ini aku menggunakan Microsoft Excel agar bisa lebih mendapatkan dinamisme customized layout.

  • Weekly Plan

Setelah menentukan setiap bulan, setiap akhir minggu aku akan kembali duduk untuk meriviu apa saja yang harus aku lakukan selama seminggu penuh—kadangpun aku menulis ulang, menyertakan jam-jamnya secara spesifik. Dan menulis hal konsisten apa yang harus aku lakukan di dalam minggu tersebut (Seperti contoh: olahraga, mengerjakan tugas yang membutuhkan waktu yang lama, menentukan waktu untuk melanjutkan kepenulisan buku, dll).

ree

Salah satu contoh Weekly Plan.

  • Everyday Plan

Akhirnya setiap pagi aku akan bangun pada jam yang ditentukan (biasanya berkisar pada jam 04.00-05.00 pagi), mengambil waktu untuk tetap menulis kembali hal-hal yang akan aku lakukan. Kali ini jauh lebih spesifik, bahkan sampai mandi, makan, bertemu teman, bersih-bersih kamar, mengambil laundry, sesuai dengan jamnya masing-masing. Ini menolongku agar tidak ada yang tertinggal dan tetap bergerak sesuai rencana.

ree

Salah satu contoh Everyday Plan.


Dibelakang semuanya, aku memiliki 2 bentuk prinsip mengenai waktu yang membuatku berusaha untuk tetap menjadi produktif: a) Bahwa masalah akan selalu muncul jika aku berkata "Aku masih memiliki waktu" dan menunda-nunda pekerjaan; dan b) Waktu tidaklah bisa kembali. Oleh karena itu setiap detik yang terlewati harus bisa dihabiskan dengan nilai, jangan pernah membuang-buang waktu sampai akhirnya bukan kamu yang run the day, tapi the day runs you. Jadi begitu teman-teman, setelah kita bersibuk-sibuk ria dan menjadi ambisius, kita juga harus ingat bahwa Tuhan saja sempat istirahat di hari ke-7. Kita juga berhak mendapatkan hal yang sama.

Pentingnya Istirahat


Apa yang baru saja aku jelaskan adalah bentuk ideal dari manajemen waktu yang selalu aku lakukan untuk diriku sendiri. Aku juga tidak 100% sempurna, ada waktu-waktu dimana aku merasa malas dan sangat luar biasa jenuh sampai harus menggeser jadwal untuk mundur beberapa hari agar aku bisa re-charge dan menemukan kembali semangat yang diperlukan. And this is normal. You are not meant to be a diesel powered, high-speed working machine. You have the right be to be exhausted and bail out to certain activities. Sampai sekarangpun aku terkadang…masih mengorbankan hal-hal seperti waktu istirahat dan kesehatan untuk bisa menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan. Hal ini sangatlah costly dan dengan kualitas kesehatan biologisku yang tidak baik, biasanya aku akan sangat rentan untuk sakit. Resulting in a lot of hizzle hazzle of being hospitalized several times. Don’t do this. Money don’t grow on trees and health matters are shitty expensive.


Jadi apa yang sudah aku pelajari mengenai hal itu adalah kenyataan bahwa istirahat adalah hal yang krusial jika kamu benar-benar ingin menjadi produktif. Dan kita bukan hanya membicarakan tidur setiap hari. Tapi juga seberapa bagus kualitas kita istirahat, bahkan jika itu berarti kita hanya sempat menutup mata beberapa saat untuk bernafas secara sadar. Quality of quantity. Kita harus memastikan berapapun banyak kesempatan istirahat yang kita miliki bisa terlaksana dengan kualitas yang baik dan sampai akhirnya benar-benar memberikan output yang diinginkan—biasanya berupa re-charge terhadap energi yang sudah digunakan.


Namun akan lebih baik lagi jika kita bisa mengimbangi kuantitas dan kualitas. Tidur malam dan/atau siang yang teratur, waktu untuk akhir pekan yang bisa digunakan sebagai liburan. Pastikan semuanya memiliki kualitas yang cukup agar bisa tidak hanya menunjang kesehatan mental kalian, tetapi juga kesehatan fisik.



Manajemen waktu adalah salah satu kunci pengembangan diri yang bisa menunjang produktifitas. Waktu sendiri adalah alat paling kuat dan juga berbahaya jika tidak diperlakukan dengan benar. Hati-hati dengan pagi yang disediakan waktu, kadang ia juga dapat mengejutkanmu dengan badai.

 
 
 

Comments


  • Black Pinterest Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black Instagram Icon
bottom of page