Seberapa Berdosakah Komunitas LGBTQ?
- Amanda Margareth
- Jul 24, 2020
- 9 min read

Opening in September, "Spectrosynthesis -- Asian LGBTQ Issues and Art Now" is set to become the first LGBTQ-themed exhibition in a major Asian art museum. Courtesy of Eslite Gallery
Pada tahun 1935, Sigmund Freud—seorang neurologist asal Austria dan penemu dari teori psikoanalisis; kumpulan dari teknik terapi untuk masalah kesehatan mental—diminta oleh seorang Ibu untuk menyembuhkan anaknya dari homoseksualitas. Akhirnya ia memberikan surat balasan yang berisi:
“I gather from your letter that your son is a homosexual. I am most impressed by the fact that you do not mention this term yourself in your information about him. May I question you why you avoid it? Homosexuality is assuredly no advantage, but it is nothing to be ashamed of, no vice, no degradation; it cannot be classified as an illness; we consider it to be a variation of the sexual function, produced by a certain arrest of sexual development. Many highly respectable individuals of ancient and modern times have been homosexuals, several of the greatest men among them. (Plato, Michelangelo, Leonardo da Vinci, etc). It is a great injustice to persecute homosexuality as a crime –and a cruelty, too. If you do not believe me, read the books of Havelock Ellis.
By asking me if I can help [your son], you mean, I suppose, if I can abolish homosexuality and make normal heterosexuality take its place. The answer is, in a general way we cannot promise to achieve it. In a certain number of cases we succeed in developing the blighted germs of heterosexual tendencies, which are present in every homosexual; in the majority of cases it is no more possible. It is a question of the quality and the age of the individual. The result of treatment cannot be predicted.
What analysis can do for your son runs in a different line. If he is unhappy, neurotic, torn by conflicts, inhibited in his social life, analysis may bring him harmony, peace of mind, full efficiency, whether he remains homosexual or gets changed.”
Freud, merupakan seorang determinist yang percaya bahwa homoseksualitas disebabkan tidak lain dari faktor biologi dan psikologi seseorang. Beliau percaya bahwa semua manusia lahir dengan “unfocused sexual libidinal drives” atau libido seksual yang belum terfokus, dimana kita belum pasti mendapatkan kesenangan seksual pada bagian tubuh tertentu, terutama sebagaimana kita terlahir. Oleh karena itu, semua manusia pada dasarnya adalah biseksual. Dimana kita memiliki aspek-aspek dari kedua kelamin, dan semua—pada waktunya—akan pernah tertarik pada kedua kelamin tersebut juga. Di Amerika, 4% dari masyarakat menjawab mereka adalah salah satu dari komunitas LGBTq. Namun saat ditanya mengenai apakah mereka pernah merasa sesekali tertarik dengan lawan dan sesama jenis, angkanya meningkat menjadi 10%. Ini adalah bukti bahwa setidaknya orang-orang memang memiliki tempat untuk tertarik kepada sesama ataupun lawan jenis mereka. Begitu pula, hal ini terbukti secara anatomi, oleh karena itu dapat juga dibuktikan secara mental dan psikis. Dipercayai bahwa homoseksualitas adalah suatu hal yang merupakan produk dari kodrat tersebut, dan beberapa bentuk homoseksualitas akan sangat susah untuk diubah terkait dengan hal tersebut.
Dengan banyak pasiennya, Freud berhadapan dengan orang-orang yang menginginkan perubahan ke heteroseksual karena sanksi sosial yang terjadi di masyarakat. Beberapa diantara mereka juga ingin melakukan terapi untuk berubah guna untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mereka sudah melakukan semuanya untuk berubah namun gagal, dan meninggalkan mereka opsi untuk kembali ke homoseksualitas. Mereka ingin mengorbankan kenyamanan dan kebahagiaan mereka masing-masing demi memenuhi ekspektasi masyarakat. That is sort of the right pronoun. It should’ve been “us” and not “them”.
Seksualitas adalah sebuah hal yang luar biasa tabu jika dibicarakan di masyarakat—hanya jika kita percaya bahwa ada lebih banyak gender dan seksualitas berevolusi di masyarakat. Banyak masalah yang muncul di masyarakat karena hal ini, termasuk budaya opresif terhadap orang-orang di belakang layar, sampai akhirnya menampilkan angka persentase bunuh diri yang tidak sedikit. Lebih lagi, mereka yang membutuhkan pertolongan sering kali tenggelam dikebingungan karena yang benar saja, orang tua mereka sendiri mengutuk diri mereka dan mengasingkan mereka untuk hal tersebut. Hal ini cenderung terjadi—terutama di negara beragama dan konservatif seperti Indonesia—dikarenakan satu hal dasar yang tidak dimengerti banyak lapisan masyarakat, yaitu pengertian dan sumber utama dari sex, gender, and sexuality. Untuk bisa menormalisasi hal ini, dibutuhkan pemahaman yang matang dan terbuka akan sisi-sisi rasional yang bisa dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Now, let’s talk about some science before we step into a lot more philosophical approach.
Berabad-abad, masyarakat kita sudah menelan bulat-bulat heteronormativity. Sebuah ide dimana di dunia ini hanya ada 2 gender, dan 2 gender tersebut berhubungan dengan seks secara biologi, dan satu-satunya hal yang bisa diterima adalah ketertarikan sesama jenis.
Freud sudah mengeluarkan pernyataan bahwa hal ini tidaklah benar karena fenomena bahwa kita semua terlahir dengan libido seksual yang belum terfokus—pada awal dan dasarnya, kita semua adalah biseksual—membuktikan bahwa heteronomativity adalah tidak lain dari sebuah konstruksi sosial. Hal yang tidak terbentuk maupun terbukti secara empiris (secara biologis).
Heteronormativity adalah sebuah hal yang didefinisikan sebagai dominasi dari sexual scripts, hukum-hukum agama yang berlaku, dan kegiatan masyarakat di daerah itu sendiri sejak berabad-abad. Istilahnya, heternormativity adalah hal lumrah yang lebih sering terjadi daripada homoseksualitas itu sendiri. Sehinggga heteronormativity dapat dimengerti—dapat dianggap “normal” oleh masyarakat. Hal ini dianggap menjadi akar masalah karena masyarakat cenderung meninggalkan kesempatan untuk memahami dan bahkan membuka toleransi untuk anggapan yang tidak sama seperti heteronormativity. Diskriminasi, opresi, dan pelecehan cenderung terjadi pada mereka di komunitas LGBTq, hanya karena narasi ini yang keluar di masyarakat hal tersebut bukanlah hal “normal”.
Konsep tersebut bisa ada karena sebuah perspektif yang disebut Structural Functionalist. Kesimpulannya dimana: karena reproduksi seksual adalah sebuah hal yang dibutuhkan dalam perkembangan masyarakat secara berkualitas, maka kegiatan seks (atau apapun yang terlibat dalam kegiatan seksual) haruslah diatur agar berfungsi sebagaimana mestinya. Setelah ini, muncul sebuah daftar bernama sexual script. Dimana, dengan siapa, dan kapan kita bisa melakukan segala perilaku seks. This specific regulation leads to creating, and reinforcing inequalities. Hence, the social construct.
Pemahaman yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kenyataan bahwa heteronomativity adalah hal yang sudah tidak lagi berlaku di masyarakat, karena—here comes a surprise—terdapat seks yang terbukti secara biologis bahwa mereka bukanlah salah satu dari kedua seks yang lumrah tersebut. Thus, that goddamn discriminative social construct needs to be changed.
Ever heard of intersex?
Intersex adalah sebuah kenyataan biologis dimana seseorang yang terlahir dengan karakteristik kelamin tertentu, tidak sesuai dengan binary notionsnya, yaitu seorang perempuan atau laki-laki. Hal ini bisa diartikan sebagai banyak hal dalam sisi biologi, salah satunya adalah Klinefelter Syndrome, yang menyebabkan kromosom XX & Y, atau triple-X syndrome, yang menyebabkan kromosom XXX. Kondisi intersex juga dapat berarti bahwa tubuh bereaksi secara berbeda kepada hormon, atau organ genital kita belum sepenuhnya berkembang. Pada intinya, intersex cenderung memiliki kesulitan untuk memilih orientasi gender dan seksualitasnya, sehingga karena ambiguitas tersebut, mereka cenderung menerima perlakuan opresif masyarakat karena tidak memenuhi standar sosial. Intersex bukan dilihat sebagai variasi seks yang dapat diterima, namun lebih kepada penyimpangan yang membutuhkan pembenaran. Sama konteknsya dengan pandangan masyarakat kepada komunitas LGBTq. Bertahun-tahun, dokter membantu pasien-pasien intersexnya untuk mengubah genital mereka agar sesuai dengan apa yang masyarakat inginkan. Padahal dilain sisi, diakui bahwa keadaan intersex kebanyakan waktu tidak membahayakan kehidupan pasien sama sekali.
Sekarang kita bisa lihat seberapa besar peran masyarakat dalam pengkategorian seks, walau ada sisi biologis yang terbukti secara empiris untuk membuktikan hal tersebut.
Gender, disisi lain, adalah hal yang sepenuhnya dibentuk di dalam masyarakat. Contoh singkatnya adalah maskulinitas yang harus selalu dimiliki pria, dan kelembutan yang harus selalu dimiliki perempuan. Apa yang kita pakai, makan, selalu memiliki unsur “gender” dalam masyarakat. Di dalam masyarakat, jika kita tidak menjadi “gender” yang sudah ditentukan, kita akan cenderung dihukum dan dipanggil “banci” atau mungkin “galak” di dalam masyarakat.. Dari sini, kita membentuk sesuatu yang disebut dengan Gender Identity: yaitu perasaan seseorang secara intim dengan status gender mereka.
Transgender, adalah orang-orang yang identitas gendernya tidak sesuai dengan seks mereka secara biologis sejak lahir. Contohnya adalah orang-orang yang terlahir dengan vagina, tetapi tidak merasa seperti perempuan (identitas gender mereka). Atau orang-orang yang terlahir dengan penis, tetapi tidak merasa seperti laki-laki. So we can totally understand now that gender and sex are two different things. Sex is something proven biologically, yet gender is more of a social construct the society has which changes in accordance to several aspects occurring in the society.
Logika lain yang bisa diterima dan membuktikan bahwa gender tidaklah terasosiasi dengan keadaan seks secara biologis adalah kenyataan bahwa jika kita membesarkan seorang anak-anak yang terlahir perempuan dengan pembiasaan untuk menjadi seorang laki-laki, diantara laki-laki, dengan kebiasaan menjadi seorang laki-laki, maka ia akan merasa seorang laki-laki dan bahkan punya anggapan bahwa dirinya memanglah seorang laki-laki. Gender adalah sesuatu yang dibentuk setelah kita lahir dan hidup dengan pembiasaan sehari-hari. Secara sosial, diakui bahwa kita masih bisa dibentuk sampai usia 3 tahun. Setelah itu, akan sangat susah mengubah identitas gender.
Seperti seks (yang sekarang kita tahu, tidak lagi hanya laki-laki dan perempuan), gender juga tidak terletak hanya dua saja. Gender adalah sebuah ekspresi diri seseorang untuk menunjukkan kepribadian mereka yang paling nyaman, secara maskulin atau feminim, regardless of their sex/sexuality. Ini adalah proses yang juga dijelaskan oleh Freud. Bagaimana selanjutnya akan menjadi perjalanan untuk menemukan tempat ternyaman kita. Beberapa memilih untuk bersama lawan jenis, namun ada juga yang memilih untuk sesama jenis. Dan ini adalah hal yang harus kita normalisasi karena tentunya, hal ini terjadi secara natural biologis sudah terbukti.
Seksualitas adalah satu hal lagi yang berbeda. Seksualitas adalah segala hal yang menyangkut perilaku seksual kita, semua pengalaman yang menyangkut etitut seksual. Hal yang paling umum kita tahu adalah heteroseksual, atau orang-orang yang menyukai lawan jenis. Homoseksualitas juga memiliki angka yang naik drastis di abad dimana kita terus memperjuangkan kebebasan berpendapat, termasuk biseksual, panseksual, dan aseksualitas. Cara berhubungan badan heteroseksual akan cenderung berbeda dengan homoseksual, dan ini jugga merupakan perjalanan menemukan arah “libido seksual” yang dimaksud Freud. Dimana kita tidak selalu menemukan rasa nyaman dalam berhubungan badan dengan lawan jenis, dan sebaliknya.
Seksualitas/Seks/Gender tidaklah berlawanan. Mereka hanyalah dua ujung yang ditengah-tengahnya masih terdapat variasi dan spektrum yang berbeda-beda. Semua hal yang normal dan tidak normal adalah sebuah konstruksi sosial yang dibuat dan dirasa paling tepat, tetapi ketahuilah bahwa keberadaan hal selain yang dianggap “normal” bukanlah sebuah hal yang salah atau harus dibasmi, terutama mengetahui banyak faktor yang mempengaruhi fenomena tersebut—bukan lagi hanya mengenai “pilihan” seseorang. Oleh karena itu, komunitas LGBTq bukanlah lagi mereka yang tidak “normal”. Mereka hanyalah minoritas yang berbeda dari kebanyakan stereotipikal masyarakat. Sama seperti keberadaan orang-orang yang mengakui bumi datar, atau diri mereka adalah penyihir dari masa lalu. Mereka juga manusia. Mereka memiliki hak asasi untuk diperjuangkan. Mereka tidak lain juga bagian dari masyarakat kita.
Tujuan spesifik penulisan dari artikel ini adalah untuk memperluas wawasan sehingga suatu saat nanti bertemu dengan orang yang sedikit berbeda dengan diri kalian, tidak perlu lagi berbisik-bisik tetangga ataupun mendikriminasi karena tentunya, hal tersebut adalah hal yang—now you know fellas—normal. Bisa terbukti secara biologis, mental, dan psikis. Mereka tidak sakit. Tidak ada yang merasa dirugikan dengan hal tersebut—kecuali dari mulut-mulut orang yang diskriminatif dan menjunjung tinggi konstruksi sosial agar bisa viral, terkenal, dan dianggap paling taat agama—instead, mereka merasa bahagia dengan pilihan mereka. And that’s all that matters.
Teman-teman, penulisan dari artikel ini tidak memaksa kalian untuk mendukung dan berkoar-koar untuk LGBTq. Semua orang memiliki prinsip mereka masing-masing. Jika kalian memang tidak merasa nyaman di dekat mereka—aku sangat ingin menyarankan kalian untuk mengikuti terapi homophobic tapi hal ini tidak akan menjadikanku berbeda dari kalian yang hobinya menuntut LGBTq untuk ke kemah konversi—silahkan tinggalkan teritori tersebut dengan tenang dan tidak menyuarakan hal jelek mengenai orang lain. Jika mereka tidak merugikan kalian, kenapa harus merugikan mereka? Toh, jika memang dosa, hanya Tuhan yang berhak menghakimi. Bukan begitu kesepakatan awalnya saudara-saudara beragama?
Jika kalian masih kebingungan kenapa hal tersebut bisa terjadi, coba perdalam pemahaman kalian dan mengerti alasan mereka masing-masing. Buka jalan toleransi untuk kedamaian yang bisa lebih ada di masyarakat. Jangan sampai kalian menjadi akar dari pertikaian dan konflik, sebuah hal yang sebenarnya selalu ditentang secara agama dan moral.
Untuk para orang tua dan remaja yang merasa sedang kehilangan arah terkait hal ini. Mungkin anak-anak kalian mulai berusaha jujur dengan apa yang mereka rasakan dengan identitas gender mereka, ingatlah mereka tetap anak kalian dan tidak akan ada yang berubah. Percayakan pilihan akan kebahagiaan tersebut pada anak kalian, jangan sampai apa yang sudah terjadi—dari kasus kabur sampai bunuh diri—terjadi di keluarga kalian. Multiple cases happened, parents who accepted their kids would end up in so many better ways they could ever wish for. Just a reminder, hal yang sudah terkontruksi di dunia sosial tidaklah pasti dan harus menjadi pedoman hidup kalian. Jangan hidup untuk orang lain, hiduplah untuk diri dan keluarga kalian sendiri.
Don’t be afraid to stand up for your kids. They need your support and love, and all that matters.
I’m going to repeat something and this is very important:
You don’t need to vocally support the LGBTq community or have the same views as I do, but what you need to do is simply put off your discriminative act towards them because in any way, they are still humans. Which to an extent, a group of people who doesn’t have any intention to bother anybody’s life. If you think that LGBTq caused the earthquake or in fact, any type of natural disaster—assuming those craps happened because of the excessive sins the humans made—I’m pretty sure the percentage of discriminative people plays a significantly larger role in that. Take a look at yourself (yes, you) and figure out how many sins you’ve made each day (honestly, from masturbating, watching porn, and just simply picturing a girl/boy/anybody naked), and if you could ever say that you’re clean, please, do judge as much as you like. But when you’re not clean enough, then…it is best to take care of yourself first. Imagine 80% of 252 million religious population calculated all of their sins together. Wouldn’t that be the reason why it happened instead of only blaming it on LGBTq? Or do you want a lot more rational, logical explanation?
If you do, great. Go back to 6th grade and study geology.
Referensi
Money, John; Ehrhardt, Anke A. (1972). Man & Woman Boy & Girl. Differentiation and dimorphism of gender identity from conception to maturity. USA: The Johns Hopkins University Press. ISBN 978-0-8018-1405-1.
"Psychoanalysis, Part 1: Proposals for the Future", American Mental Health Foundation, archived 10 June 2009
Freud, Sigmund. 1905. “Three Essays on the Theory of Sexuality”
Crash Course Sociology: Sex and Sexuality, Eps. 31 (2017)
For parents who are having a hard time in accepting their children, TEDx Talks you should consider to watch:
Proud to Call You My Transgender Son – Skip Pardee
Why I Chose My LGBTQ Daughter Over the Evangelical Church – Susan Cottrell (THIS IS A MUST WATCH!)
Time to Blossom: Accepting My Transgender Daughter – Elizabeth August
I have watched all of them and I think they could definitely give you so much more insights on what to do. For teens/adults who are seeking for consultations in regards of their gender identity/sexuality:



Comments