top of page
Search

Kejahatan Terus Terjadi, Kemana Perginya Tuhan?

  • Writer: Amanda Margareth
    Amanda Margareth
  • Jun 3, 2020
  • 6 min read

Updated: Jul 23, 2020

Bencana alam, kemiskinan global, patah hati. Apakah Tuhan benar-benar baik?


ree


Di abad ke-21 ini, terutama untuk anak-anak yang mengaku hidup di dunia yang lebih sekuler, kita semua berlomba-lomba untuk menjadi orang yang open-minded. Starter Pack untuk seorang anak yang pikirannya terbuka adalah:

  1. Tidak percaya Tuhan—atau mungkin bisa saja percaya. Hanya tidak selalu memiliki agama (Walau saja, percayalah. Banyak dari antara mereka yang sebenarnya tidak benar-benar memiliki dasar dalam melepaskan keagamaan. Lebih banyak dari antara mereka yang malas untuk berdoa/pergi ibadah, dan bukan benar-benar memahami konsep semua agama dan menolak prinsip utamanya secara logika. Tidak harus, sih. Hanya saja, jika mereka hanya mengikuti trend untuk tidak memiliki agama, maka hal itu hanyalah sebuah refleksi dari kemalasan dan bukan cara berfikir yang dalam dan lebih berkualitas dalam hidup. Purposenya tidak ada, hence an invaluable action).

  2. Pro LGBTq.

  3. A feminist, or at the very least, agreed upon its broad concept and implementation.

  4. Mendukung semua hal yang berkaitan dengan freedom of speech, in general.

Biasanya, orang-orang akan mendewakan sebuah petuah di twitter yang berbunyi:


“Lebih banyak orang baik yang tidak beragama, daripada mereka yang beragama.”

Sampai akhirnya, muncul sebuah pertanyaan berbalut keraguan mengenai keagamaan.

Masihkan agama menjadi the absolute key to goodness in humanity? Atau masihkan agama relevan untuk diterapkan dalam menjaga perdamaian dunia di abad ke-21 dimana kamu tetap bisa berbuat baik walaupun tidak beragama?


Mungkin masih. Tetapi ada satu pertanyaan terbesar yang biasa dilemparkan oleh para penolak Tuhan yang cenderung menjadi akar perdebatan, yaitu: “Apakah Tuhan benar-benar ada? Jika Ia ada, mengapa bisa tetap ada kejahatan dimana-mana?”


Hal ini muncul karena beberapa paradox dalam keagamaan:

  1. Tuhan sudah merencanakan semuanya.

  2. Jika Ia sudah merencanakan semuanya, Ia—seharusnya, sebagai seseorang yang omnipotent, omniscient, dan omnibenevolent—memiliki kekuatan untuk menghalau kejahatan. Tetapi kenapa Ia tidak melakukannya?

  3. Free will diberikan untuk manusia. Tetapi toh, semuanya sudah terencana. Jadi apakah free will itu sendiri masih ada?

Hence the grand question, where is God, when all of this evil keep coming?

Tidak ada yang pernah bisa menjelaskan secara empiris seperti apa bentuk Tuhan dan apakah Tuhan benar-benar ada. Tetapi sebenarnya ada satu pertanyaan lebih mendasar lagi yang—mungkin, sebagian besar—bisa menjawab eksistensi dari Tuhan, atau apakah Ia benar-benar berperan dalam hidup kita atau tidak.

Yaitu: Kenapa kejahatan bisa tercipta dari pertama?


Now a disclaimer, seperti yang filsuf percaya, pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab adalah eksperimen paling bagus untuk kemampuan berfikir secara logika dan berargumen. Jadi mari kita berdiskusi dengan dasar tersebut. Bahwa tulisan ini dibuat dengan intensi untuk mengasah kemampuan berfikir secara logis dan benar.


Sekarang, mari kita samakan definisi kejahatan.


Kejahatan adalah semua hal “buruk” yang terjadi pada kita. Semua kejahatan, yang berangsur dari aksi terorisme sampai tangan kita yang tidak sengaja terkena pisau saat memasak di dapur. Semua orang, termasuk mereka yang percaya atau tidak percaya, akan setuju bahwa demon (setan) hidup di segala macam situasi tersebut.


Konsep general yang bertabrakan antara kedua kepercayaan—percaya Tuhan dan tidak percaya Tuhan—tersebut adalah:

  1. Theist: Tuhan adalah maha tahu (omniscient), maha kuat (omnipotent), dan maha baik (omnibenevolent).

  2. Atheist: Tuhan tidak ada karena semua hal tersebut berkontradiksi satu sama lain. Karena Ia maha tahu, seharusnya ia tahu bahwa (saya) akan terkena pisau. Dan kalau ia maha kuat, Ia punya kekuatan untuk memberhentikannya. Dan karena Ia maha baik, Ia akan melakukannya. Karena ia tidak melakukannya, none of the virtue existed, hence, not even God. Oleh karena itu, kejahatan/keburukan akan tetap berlanjut.

Tetapi, ada mereka yang memiliki kepercayaan juga bahwa Tuhan tidak sekuat, setahu, atau sebaik itu untuk menahan kejahatan. Karena jika kita pernah melihat kembali kitab-kitab yang ada, di perjanjian lama, Tuhan sempat menghilangkan populasi dari sebuah kota karena perilaku buruk yang ada di kota itu, yang mencirikan bahwa bisa saja, Tuhan tidak selamanya se”baik” itu, dan mungkin bisa memang sewaktu-waktu “marah”. Yet, this also extinguish the characteristic of omni-being, for not being omnibenevolent.


Hanya saja, karena kita adalah semua orang yang tumbuh dengan stigma bahwa mereka yang beragama adalah orang yang lebih baik, tentu saja kita—orang-orang beragama—akan tetap memperjuangkan argumen mengenai eksistensi dari Tuhan.


Oleh karena itu, kita yang percaya, mempunyai satu tanggung jawab terakhir untuk dijelaskan.


Yaitu mengapa, dengan eksistensi Tuhan, kejahatan masih ada?


Teori ini, dikenal dengan istilah Theodicy, yaitu sebuah percobaan dimana kita bisa menunjukkan secara logika, nalar, dan pernyataan argumentatif bahwa eksistensi dari kejahatan/keburukan tidak merusak kemungkinan dari eksistensi Tuhan.


Salah satu teori yang sempat dipopulerkan adalah: The Free Will Defense.


The Free Will Defense adalah sebuah anggapan dimana Tuhan, mengoptimalkan kebaikan di dunia dengan menciptakan ciptaan Ia yang sebebas-bebasnya. Menjadi bebas berarti kita, ciptaan tertinggi yang memiliki akal, mempunyai opsi untuk melakukan hal selain kebaikan, yaitu kejahatan. Singkatnya, kalau sayang sama orang, memangnya kita bisa memaksa mereka melakukan apa yang kita mau? Tuhan pun, karena mencintai kita sebagai ciptaan termuliaNya, tidak akan tega untuk memaksa kita melakukan apapun.


Kesimpulan dari teori tersebut adalah Tuhan tidak menciptakan kejahatan, tetapi kejahatan sendiri tidak bisa dihindari jika dikaitkan dengan kebebasan yang diberikan olehnya. Sedangkan dunia tanpa kebebasan, merupakan dunia paling buruk yang dapat dibayangkan semua mahluk hidup di dunia.


Teori ini mendukung ketiga hal yang menjadi kunci utama dari eksistensi Tuhan:

  1. Tuhan itu baik, karena ia memberikan kita dunia terbaik dimana kebebasan ada.

  2. Tuhan itu maha kuat dan maha tahu, karena walaupun Ia mengetahui mengenai kejahatan dan bisa menghentikannya, Ia memiliki alasan yang bagus dan masuk akal untuk tidak melakukannya—yaitu untuk memastikan kebebasan kita.

Kebolongan terbesar dari teori ini adalah: kenyataan bahwa teori ini hanya bekerja pada kejahatan moral yang berevolusi dalam debat determination vs. free will. Kejahatan yang dilakukan secara sengaja dilakukan oleh manusia. Teori ini tidak bekerja pada kejahatan alam. Kejahatan dimana terjadi gempa bumi, banjir, pohon yang jatuh menimpa manusia, manusia yang terlahir tidak sempurna, dan sebagainya. I mean, if we had the option to choose in between those phases, we’d definitely choose otherwise wouldn’t we?


Di kejahatan alam, teori The Free Will Defense tidak bisa berdiri karena manusia tidak bisa dibilang bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi secara logis dan empiris. Banyak orang yang mengerti dan percaya mengenai konsep ini, tetap lagi-lagi, sebagai umat beragama, untuk apa kita merelakan kereta ke surga untuk resiko terbakar dan hidup abadi di api neraka? Maka dari itu sering kali kita memilih untuk tetap beragama sebagaimanapun berdosanya diri kita sebagai umat manusia.


Teori lain yang biasa diperdebatkan karena memiliki ambiguitas yang tinggi tanpa bukti konkret adalah konsep bahwa kejahatan ada, untuk menujukkan eksistensi dari kebaikan. Sama halnya kita tidak akan tahu bagaimana rasanya bahagia jika tidak pernah sedih, atau bagaimana rasanya sehat, jika selalu sakit. Teori ini dipercaya merupakan filosofi utama yang menjadikan hidup kita lebih bernilai, terutama sebagai mahluk yang paling memiliki akal.


Theodocy sendiri, memiliki teori turunan dari John Hick. Yang bernama “Soul Making Theodocy”.


John Hick berargumen bahwa Tuhan menciptakan kita “Tidak selesai”. Dan jika kalian pernah membaca konsep John Locke mengenai manusia adalah kertas kosong, teori ini membahas perihal yang cukup serupa. Hick, berargumen bahwa kehidupan di dunia merupakan seleksi alam yang memang dimaksud untuk membentuk kita untuk menjadi semakin kuat, semakin berarti sebagai manusia. Ia berkata:


“The harshness of life, gives us a robust texture and character that wouldn’t be possible without an imperfect world. We’re not just God’s little pets, and he’s not our benevolent owner, whose sole job is to keep us in a safe, comfortable environment.”

Sejauh ini, teori ini lah paling dipercayai sebuah lapisan umat beragama yang masuk secara logika dan bisa mempertahankan argumen eksistensi dari Tuhan. Namun, masih ada lapisan selanjutnya dari pertanyaan mengapa kejahatan bisa ada di dunia ini. Kita sudah bisa menjawab “Kenapa?” kejahatan bisa ada, namun kenapa kejahatan yang sangat jahat bisa ada begitu banyak di dunia?


Bisa saja kita katakan bahwa kita butuh kejahatan untuk mengerti kebaikan, tetapi kenapa Tuhan tidak membiarkan kita merasakan kejahatan-kejahatan kecil saja—seperti sakit panas, sakit gigi, terjatuh di tangga—daripada kejahatan-kejahatan yang benar saja, menghabiskan banyak nyawa dan harta? Apakah Tuhan memang mempunyai anger issue untuk diresolve oleh manusia?


Karena jika dilihat lebih dalam lagi: gempa bumi, proses meninggal karena virus, dan kejahatan/keburukan yang tidak bisa kita kontrol lainnya, cenderung tidak terlalu mengajarkan kita apa-apa mengenai “kebaikan”, bukan?


Maksudku, jika kita melihat saudara-saudara kita mengalami gempa bumi dan meninggal, bentuk nilai kebaikan apa yang bisa kita sadari dari hal tersebut?


Intinya, jika memang dibutuhkan suatu dosis kejahatan untuk menyadarkan kita kebaikan ada, lalu kenapa kita tidak diberikan kejahatan seminimal mungkin untuk mempelajari kebaikan tersebut?


Sebagian akan berargumen bahwa, kesadaran akan kebaikan—level, dari sebuah kebaikan—akan berbanding lurus dengan seberapa signifikan kejahatan yang ia alami. Contohnya adalah, seseorang akan jauh lebih merasa kehilangan jika orang tua/orang terdekatnya meninggal, daripada jika tanamannya mati atau ada barangnya yang hilang selamanya.


Tetapi hal tersebut tidak selalu berlaku ke semua hal, contohnya adalah ketika banyak orang mati dari kejadian 9/11 atau genocide lainnya. Apa yang orang lain pelajari mengenai hal tersebut? Bukankah kelihatannya dunia hanya semakin kejam dan berdoa tidak lagi relevan?


Lagi, konsep dari Soul Making Theodocy juga tidak bekerja. Karena kebanyakan waktu, kejahatan bisa memakan miliaran jiwa, bahkan sebelum mereka punya kesempatan untuk terbentuk seperti rencanaNya. Sebelum mereka sempat melewati fase seleksi alam.


Banyak orang memilih untuk tetap bertanya-tanya mengenai konsep utama dari co-existence diantara Tuhan dan kejahatan, dan tetap mempertahankan konsep utama dari Theodicy. Tidak sedikit juga mereka yang merasa terbantu dalam melepaskan penat untuk berfikir mengenai hal tersebut, dan melepaskan tiket utama mereka ke surga yang bisa juga menjadi tiket utama mereka ke hidup abadi yang sengsara di neraka.


Pertanyaan terakhir yang mungkin banyak dari kita bisa menjawab dan adalah akhir dari perdebatan panjang ini:


Bentuk kepercayaan mana yang bisa menjadikanmu manusia paling penuh dan bernilai?



Referensi:

  1. Philip A. Pecorino, An Introduction to Philosophy: An Online Textbook (2000), Chapter 3: ‘Philosophy of Religion’, Section 11: Problem of Evil

  2. Michael L. Peterson (2011). "Religious Diversity, Evil, and a Variety of Theodicies". In Chad Meister (ed.). The Oxford Handbook of Religious Diversity. p. 162.

  3. Crash Course Philosophy Youtube Channel: The Problem of Evil (Eps. 13)


 
 
 

Comments


  • Black Pinterest Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black Instagram Icon
bottom of page